Bung Hatta (Lahir: Bukittinggi,
12 Agustus tahun 1902) merupakan tokoh yang selalu berkarya nyata. Salah satu
karya monumental beliau adalah ide tentang pembentukan koperasi. Pemikiran ini
kemudian beliau tuangkan melalui pembentukan koperasi pengusaha batik yang
berhasil mendorong kemajuan bagi pengusaha batik sampai bisa ekspor ke luar
negeri.
Pada saat bangsa Indonesia masih
berkutat untuk menumbuhkan minat baca, pemikiran beliau sudah jauh lebih maju
dengan memberikan teladan bangsa Indonesia untuk menumbuhkan budaya menulis.
Kegiatan tulis-menulis ini telah beliau lakukan sejak masih belajar di negeri
Belanda sampai akhir hayatnya. Tak terhitung lagi jumlah artikel dan buku yang
telah beliau tulis. Sebuah monumen intelektual berupa perpustakaan di Bukittinggi
pun telah didirikan untuk mengenang Pak Hatta.
Ada cerita yang bisa dijadikan
teladan bagi kita, cerita yang mungkin jarang diketahui oleh banyak
orang tentang bung Hatta.
Dulu saat tahun 1950-an, ada
sebuah merek sepatu yang bermutu tinggi bernama Bally. Dan harganya
tentulah tidak murah. Bung Hatta berminat ingin membeli sepatu Bally suatu hari
nanti. Maka beliau kemudian menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat
penjualnya, lalu berusaha menabung agar bisa membeli sepatu idaman tersebut.
Namun hingga akhir hayat beliau,
sepatu Bally idaman Bung Hatta tidak pernah terbeli karena tabungannya tak
pernah mencukupi karena tabungan itu selalu terambil untuk keperluan rumah
tangga atau untuk membantu kerabat dan handai taulan yang datang kepadanya
untuk meminta pertolongan.
Yang sangat mengharukan dari
cerita ini adalah guntingan iklan sepatu Bally itu masih tersimpan dan
menjadi saksi keinginan sederhana Bung Hatta saat beliau wafat.
Padahal jika ingin memanfaatkan posisinya waktu itu yang masuk dalam
jajaran tinggi wakil negara, sebenarnya sangatlah mudah bagi Bung Hatta untuk
memperoleh sepatu Bally.
Namun, di sinilah letak
keistimewaan Bung Hatta. Beliau tidak mau meminta sesuatu untuk kepentingan
sendiri pada orang lain. Bung Hatta lebih memilih jalan sukar dan lama,
yang ternyata gagal karena beliau lebih mendahulukan orang lain daripada
kepentingannya sendiri.
Itulah salah satu teladan
besar yang beliau tinggalkan, yaitu sikap mendahulukan orang lain, sikap
menahan diri dari meminta hibah, santun bersahaja, dan membatasi konsumsi pada
kemampuan yang ada. Kalau belum mampu, harus berdisiplin dengan tidak berutang
atau bergantung pada orang lain.
———- ooOoo ————-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar